Perjalanan Sudirman-Taman Mini yang ditempuh pada saat jam pulang kantor, sama sekali bukan pengalaman yang ingin dirasakan oleh setiap orang. Jalanan yang luar biasa macet, padatnya kendaraan, dan situasi jalanan yang kurang menyenangkan lainnya, bisa membuat orang lebih rela menunggu beberapa saat lagi sampe keadaan jalan sedikit membaik.
Tapi kemarin, gw ga punya banyak waktu untuk menunggu. Akhirnya, dengan terpaksa gw tempuh juga perjalanan itu. Berhubung gw berada di Soedirman dalam rangka tugas kantor, jadilah gw pilih sebuah Taxi untuk mengantarkan gw ke tempat tujuan... Toh tidak akan menambah pengeluaran :P
Dan rupanya hari itu adalah hari keberuntungan gw. Bapak supir Taxi yang gw tumpangi adalah seorang bapak separuh baya yang luar biasa ramah. Sepanjang jalan si Bapak menceritakan kisah demi kisah yang membuat perjalanan jadi terasa menyenangkan.
Bapak supir Taxi yang gw tumpangi semalam, sudah tinggal di Jakarta sejak tahun 1969. Dan menurut gw itu udah lama banget. Padahal si Bapak bukan orang Jakarta asli... Bapak supir Taxi bercerita bahwa Jakarta saat ini sudah berubah 120% (walaupun agak aneh membayangkan arti 120% itu).
Di setiap jalan yang kami lewati, si Bapak supir Taxi selalu menjelaskan kondisi jalan itu waktu
zamannya dulu. "Dulu itu ya Mbak, di sini tuh sawah..." Di tempat lain, "Di sini dulu itu perumahan lho Mbak.." Dan aku sering meresponnya dengan "ooo.. gitu ya Pak.." Buatku sulit membayangkan keadaaan Jakarta seperti yang Pak Supir Taxi gambarkan.
"Dulu, tidur di bawah kolong jembatan masih enak lho Mba. Coba sekarang, boro2 tidur di kolong jembatan, nongkrong aja orang dah ga betah." Entah kenapa dan ke mana kenyamanan itu menghilang?
Selain keadaan Jakarta, Bapak supir Taxi juga menceritakan mengenai keadaan transportasi Jakarta pada saat itu. Menurut ceritanya, dulu kendaraan umum masih sangat jarang. Dan semua kendaraan umum yang ada di Jakarta bermuara di satu titik, yaitu Lapangan Banteng. Bapak supir Taxi juga memperagakan gaya kondektur zaman dulu mempromosikan kendaraannya.
"Ayo..ayo.. Jakarta.. Jakarta.." Padahal, menurut Bapak supir Taxi, si kondektur berkata seperti itu di daerah2 seperti Cililitan, UKI, dan daerah2 lainnya. Pada waktu itu, menurut Bapak supir Taxi, yang dimaksud dengan Jakarta adalah daerah Lapangan Banteng dan sekitarnya. Ongkos naik kendaraan saat itu berkisar antara Rp7-Rp10. Um... kalo dibandingkan dengan zaman sekarang, tentu harga itu sangat2 murah.
Zaman dulu di Jakarta juga sudah ada Taxi. Bapak supir Taxi, sudah menarik Taxi sejak tahun 70-an. Hampir setiap seluk beluk jalan di Jakarta, Bapak supir Taxi tahu betul. Bahkan sampe lubang2 jalannya. Bapak supir Taxi bercerita kalau Taxi zaman dulu tidak ada yang ber-AC. Tapi untuk menunjukkan kemewahan Taxi dibanding kendaraan2 umum lainnya, Taxi pada waktu itu menggunakan kipas angin. Gw ga bisa membayangkan berada di kendaraan yang ada kipas anginnya. Bisa jadi bukannya nyaman, tapi malah kembung... :p
Akhir tahun 70-an mulai-lah ada kendaraan ber-AC dan tidak lama Taxi2 ber-AC pun bermunculan. Tapi, orang pada zaman dulu belum bisa menyesuaikan diri dengan AC. Banyak orang pada waktu itu yang malah kembung atau masuk angin berada di dalam kendaraan ber-AC. Alhasil, Taxi zaman dulu dibedakan menjadi Tasi AC dan Non-AC. Persis seperti sekarang, Taxi Tarif Lama dan Taxi Tarif Baru. Tarif-nya pun berbeda, untuk tarif Taxi Non-AC argo awal menunjukkan harga Rp.400, sedangkan Taxi AC argo awal menunjukkan harga Rp.600.
Bapak supir Taxi juga bercerita mengenai kondisi ekonomi dan politik pada masa pemerintahan presiden pada waktu itu. Untuk yang satu ini, gw males ah buat cerita, takut dianggap mendiskreditkan satu pihak (apalagi yang bersangkutan sudah mangkat).
"Tapi mbak, Jakarta ga cuma kotanya aja yang berubah. Warganya juga..." Kalimat itu sempat mampir di pikiran gw cukup lama. Gw memang ga tau betul, bagaimana kondisi warga Jakarta zaman dulu. Tapi, terus terang, gw sendiri merasa ga terlalu nyaman dengan sifat penduduk Jakarta.
"Sekarang orang dah kenal sopan santun Mbak. Anak kecil manggil orang yang seumuran ama kakeknya dengan sebutan 'Bang', hanya karena orang tersebut berprofesi sebagai supir angkot atau tukang jual makanan. Orang juga dah ga pernah permisi kalo lewat di depan orang tua."
Bapak supir taxi melanjutkan, "Kalo di jalan parah lagi Mbak. Orang mau belok kiri, ambil lajur kanan. Giliran di klaksonin, bales kasih klakson. Parah deh Mbak... "
Pikiranku melayang, tidak begitu kudengarkan lagi cerita Bapak supir taxi. Di pikiranku tergambar adegan2 yang diceriitakan oleh Bapak supir taxi. Dan harus kuakui, semua itu benar sekali...
Dan kemudian, pikiranku kembali ke cerita Bapak supir taxi.
"Yah... emang sih mbak, kata orang kalo mau jadi bangsa modern, harus begitu.."
Dalam hati aku berkata, "Benarkah seperti itu... Benarkah harga yang harus di bayar untuk sebuah modernisasi adalah hilangnya kepedulian dan sopan santun?.." Entah mengapa sulit sekali untuk setuju...
Tidak terasa, gw dah sampe di tujuan. Gw lihat argo menunjukkan harga Rp.35.500,00. Gw pun mengambil Rp50.000an, dan bilang, "10rb aja Pak kembaliannya". Rp4.500 gw anggap sebagai harga untuk cerita dan perjalanan yang luar biasa menyenangkan. Meskipun menurut gw, harga itu kurang sepadan dengan yang gw dapetin selama perjalanan itu...
Friday, February 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Post a Comment